ONTA VS BISON
Akhir akhir
ini banyak yang agak “alergi” dengan budaya arab. Bahkan saking ekstrinmnya,
ada yang menyebut nyebut mereka yang kearab araban sebagai “Onta”. Bukan dalam
konotasi yang bagus, tetapi sebagai ejekan.
Tetapi
tanpa mereka sadari, kelompok “anti onta” ini ternyata tidak konsisten. Mereka
lebih menghargai Burger king daripada tempe bacem. Dan merasa bangga kalau
sudah menggunakan bahasa inggris dibanding bahasa daerah mereka. Bagaimana
kalau kita juluki mereka sebagai “bison”?
Ketika para
“Bison” tidak suka dengan panggilan Akhi
& ukhti, mereka justru bangga ketika memanggil temannya bro atau sist.
Ketika mereka mentertawakan panggilan Abi & Umi, mereka justru akrab dengan
Papa & Mama.
Dalam
khasanah budaya Jawa ada pameo, Arab digarap, Barat diruwat Jowo Digowo.
Artinya Budaya arab yang sesuai diadopsi, Budaya barat dipilah pilah mana yang
baik dipakai, dan budaya lokal tetap dipertahankan.
Saya sangat
berharap bangsaku bisa “menerima” budayanya sendiri, setara dengan budaya
budaya lain yang ada di dunia. Kita jadikan budaya sendiri sebagai budaya utama
kita.
Pada suatu
hari, saya ngopi di warung di depan salah satu rumah yang disewa oleh Atase
Militer Asing di kawasan Jakarta Selatan. Kebetulan rumah itu tidak dihuni,
hanya ditinggal oleh sepasang “pengurus rumah” dengan seorang anak kecilnya.
Mereka
punya seekor monyet yang diberi ama Dewi. Dewi.. dewi… begitu mereka memanggilnya ketika mau diberi
makan. Dan ketika mereka memanggilll anaknya, yang terdengar adalah Rachel……
Menyaksikan
peristiwa unik ini, saya terhenyak. Nama Dewi justru diberikan pada seekor
Monyet, sedangkan anaknya diberi nama dengan nama asing.
Sedemikian
burukkah kita memandang “nama nama lokal”? sehingga nama nama itu sudah mulai
hilang dari peredaran. Sudah jarang ada seorang anak yang dinamakan Jumadi,
Togar, Atau ujang.
Qua Vadis
Budaya Indonesia?
Handoyoputro
handoyoputro.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment